Sponsor

"Ilmu Tanpa Amalan Ibarat Pohon Tanpa Buah" Ilmu Yang Berfaidah Adalah Ilmu Yang Digunakan Atau Dimanfaatkan, Dan Pekerjaan Yang Baik Adalah Pekerjaan Yang Dikerjakan Dengan Baik, Maka Ilmu Harus Dimanfaatkan Dan Harus Dipakai Untuk Memudahkan Dan Menyempurnakan Sesuatu Pekerjaan Agar Baik Hasilnya, Dan Mendatangkan Manfaat Bagi Kita Dan Orang-Orang Disekitar KIta.

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, May 3, 2014

BERHUJJAH DENGAN HADIST AHAD


1. Pengertian Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits ‘Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama’ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn ditanya tentang orang yang menganggap hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam masalah ‘aqidah menjawab:
“Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah ‘aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah ‘aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula.
Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu ‘anhu :
“Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat”
Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya.
Bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengirimkan individu-individu (orang per-orang) guna mengajarkan permasalahan ‘aqidah yang prinsipil (Ushûl al-’Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman. Mu’adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima.
Bila kita mengatakan bahwa masalah ‘aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-’Amaliyyah (hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-’Amaliyyah selalu disertai oleh suatu ‘aqidah bahwa Allah Ta’ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-’Amaliyyah tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukum-hukum syara’ yang tidak berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam ini harus dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak ada bedanya.[1]

2. Macam - macam Hadis Ahad
     Pembagian Hadis ahad ada tiga macam, yaitu hadis masyur, aziz, dan gharib.
A.    Hadis Masyhur
Dalam bahasa kata Masyhur diartikan = tenar, terkenal, dan menampakkan. Dalam istilah hadis masyur terbagi menjadi dua macam adalah :
1.      Masyhur Isthilahi :
Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap tingkatan  (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir.
Sebagian ulama berpendapat hadis masyur sinomim dengan hadis mustafidh (dalam bahasa diartikan penuh dan tersabar) dan sebagian ulama alain berpendapat bahwa musthafidh lebih khusus, akarena dalam musthafidh disyaratkan dua ujung sanadnya harus sama jumlahnya yakni 3 orang atau lebih. Menurut pendapat kedua ini hadis mustafidh kebih khusus daripada masyhur, karena dipersyaratkan jumlah 3 orang periwayat dari awal sampai akhir sanad.


2.      Masyhur Ghayr Isthilahi
Hadis Masyhur Ghayr Isthilahi berbeda dengan Masyhur Isthilahi di atas. Hadis Masyhur menurut istilah muhadditsin (disebut masyhur isthilahi) sebagaimana di atas, sedang masyhur gayr isthilahi (bukan istilah muhadditsin) adalah :
Hadis yang popular pada ungkapan lisan (para ulama) tanpa ada persyaratan yang definitive.
Hadis Masyhur Ghayr isthilahi adalah hadis yang popular atau terkenal di kalangan golongan atau kelompok orang tertentu, sekalipun jumlah periwayat dan sanad tidak mencapai 3 orang atau lebih. Popularitas hadis masyhur disini disini tidak dilihat dari jumlah para perawi sebagaimana masyhur isthilahi di atas, tetapi tekanannya lebih kepada popularitas hadis itu sendiri ini di kalangan kelompok orang atau ulama dalam bidang ilmu tertentu. Mungkin hadis masyhur ghayr isthilahi hanya memiliki satu sanad saja atau lebih dan dua tidak bersanad, mungkin ahadis itu mutawatir atau ahad, berkualitas shahih, hasan, dha’if, dan atau mawdu’ yang penting popular dikalangan para ulama. Misalnya hadis tertentu popular (masyhur) dikalangan ulam tertentu tidak popular pada ulama lain. Hadis tertentu popular dikalangan ulama hadis saja, dan seterusnya. Misalnya hadis yang popular (masyhur) dikalangan ulam fiqh saja:
 Hal yang paling di murkakan Allah adalah talak (HR. Al-Hakim)
Contoh hadis masyhur dikalangan ulama ushul fiqh:
Terangkat daripada umatku kekhilafan, kelupaan, dan sesuatu yang dipaksakan. (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Contoh Hadis Masyhur dikalangan Ulama Hadis :
Hadis Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW berdo’a qunut satu bulan setelah ruku’ mendoakan pada qabilah riil dan Dzakwan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hukum Hadis Masyhur baik Istilahi atau Ghayr istilahi tidak seluruhnya dinyatakan shahih, akan tetapi tergantung pada hasil penelitian atau pemeriksaan para ulama. Sebagian hadis masyhur ada yang shahih, sebagian hasan, dan dha’if, bahkan ada yang mawdhu’. Namun, memang diakui bahwa keshahihannya hadis masyhur istilahi lebih kuat daripada keshahihan hadis aziz dan gharib yang hanya diriwayatkan satu atau dua orang perawi saja.

3.      Kitab-kitab hadis mashyur
Kitab-kitab yang memuat hadis masyhur ghayr istilahi (‘ala al-Alsinah) antaranya seabagai berikut :
   a. Al-Maqashid Al-Hasanah fima Usytuhira ‘ala Al-Alsinah, karya  As-Sakhawi,
   b. Kasyfu Al-Khafa’ wa Muzil Al-Ilbas fima Usyituriha min Al-Hadits ‘ala Alsinah An-Nas, karya Al-Ajaluni.
   c. Taamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fima Yadur ‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadits, karya Ibnu D-Daiba Asy-Syaibani.

B.     Hadis Aziz
Dari segi bahasa kata aziz sifat musyabbahah berasal dari kata ‘azza ya’izzun yang berarti sedikit dan langka. Atau dari kata ‘azza ya’azzun yang berarti kuat.
Jadi hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada seluruh tingkatan (thabaqat) sanad atau walaupun dalam satu tingkatan sanad saja. Misalnya dikalangan sahabat hanya terdapaat dua orang yang meriwayatkannya, atau hanya dikalangan tabi’in saja yang terdapat dua orang perawi sementara dikalangan sahabat hanya terdapat satu orang saja. Jadi pada salah satu tingkatan sanad hadis tersebut didapatkan tidak kurang dari dua orang perawi atau  satu tingkatan sanad yang terdiri dari dua orang.

  1. Hadis Gharib
Kata gharib dalam bahasa juga sifat musyabbahah (serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul) yang berarti sendirian (al-munfarid) . nama lain dari hadis gharib adalah fard. Farad dalam bahasa adalah tunggal dan satu. Antara hadis gharib dan fard yaitu satu mempunyai makna yang sama yaitu hanya satu perawi dalam satu tingkatan (thabaqat) sanadatau pada sebagian tingkatan sanad walaupun dalam hal satu tingkatan saja sedangkan pada tingkatan yang lain lebih dari satu orang. Misalnya satu hadis ditrima ditingkat ditingkatan sahabat hanya oleh seorang sahabat saja, sementara dikalangan tingkatan selain sahabat terdapat dua orang perawi atau lebih yang menerima hadis tersebut. Hadis yang seperti ini disebut hadis gharib dikalangan sahabat sekalipun tidak gharib ditingkatan tabi’in atau tabi’ tabi’in.
Macam – macam hadis gharib ada dua macam yaitu sebagai berikut :
a. Gharib Mutlak, yaitu :
Hadis yang gharabah-nya (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang sahabat.
Ujung sanad disebut pokok atau asal sanad karena sahabat yang menjadi referensi utama dalam periwayatannya hadis sekalipun banyak jalan dan tingkatan dalam sanad.
b. Gharib Nisbi (relatif), yaitu :
Hadis yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) ditengah sanad.
Hadis tersebut dikalangan tabi’in hanya Malik yang meriwayatkannya dari az-Zuhri. Boleh jadi pada awal sanad lebih dari satu orang, namun ditengah – tengahnya terjadi gharabah. Artinya hanya satu orang saja yang meriwayatkannya, kata nisbi memberikan makna bahwa gharabah terjadi secara relatif atau dinisbatkan pada suatu tertentu tidak secara mutlak.[2]

3. Kehujjahan Hadist Ahad
     Hadist ahad dengan berbagai pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan atau dho’if, bergantung pada syarat diterimannya hadist (syurut al-qabul). Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadist tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimannya hadist.
     Para ulama banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadist ahad. Diantara dalil-dalil yang mereka gunakan adalah:
  1. Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah saw. Tatkala menyebarkan islam kepada para pemimpin negri atau para raja, beliau menunjuk atau mengutus satu atau dua orang sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar menemui dua belas pemimpin saat itu untuk menganut islam. Kasus ini membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa oleh satu atau dua orang sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya rasulullah menilai jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut. Demikian kata imam syafi’i.
  2. Dalam menyebarkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah saw, mengutus satu orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang semula mengarah kebaitul maqdis dipalestina kemudian dipindah kearah kiblat (ka’bah) di makkah. Info pengalihan ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama nabi saw kemudian datang kesalah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan sholat subuh kemudian memberitahukan bahwa kiblat telah diubah arah. Mendengar informasi itu spontan mereka berputar arah untuk menghadap ke ka’bah padahal mereka tidak mendengar sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam syafi’i mengatakan seandainya khabar satu orang yang dikenal jujur tidak dapat diterima niscaya mereka tidak akan mengubris informasi pemindahan arah tersebut.
  3. Termasuk dalil yang digunakan imam syafi’i untuk membuktikan hadist ahad adalah hadist yang berbunyi :

نضر الله أمر أسمع منا شينا فبلغه كما سمع فرب مبلغ أوعى من سامع
“ semoga ALLAH membaguskan wajah orang-orang yang mendengar dari kami sebuah hadist lalu ia menyampaikannya sebagai mana ia dengar, bisa jadi orang yang menyampaikan lebih memahami dari orang yang mendengar”

     Anjuran Rasulullah saw untuk menghafal lalu menyampaikannya pada orang lain menunjukkan bahwa khabar atau hadis yang dibawa orang tersebut dapat diterima dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dalil. Disisi lain hadist yang disampaikan itu bisa berupa hukum –hukum halal haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.[3]


  1.  Kesimpulan
Hadits Ahad adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits ‘Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama’ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
Hadist ahad terbagi menjadi tiga yaitu : hadis masyhur, hadist Aziz, hadist gharib. Hadist masyhur diartikan  sebagai hadist popular  atau terkenal namun perawi dan sanad dalam tingkatannya  hanya mencapai 3 orang, Hadist aziz yaitu hadist langkah atau sedikit menurut istilah, yang  mana jumlah parawi dalam setiap tingkatan sanad tidak lebih dari dua orang. Sedangkan hadist gharib adalah hadist sendiri karna jumlah perawi dalam setiap tingkatan sanad hanya satu orang saja.
 Bahwa bila ada qarâ-in yang mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid, maka ia dapat menginformasikan ilmu pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) dan dapat dijadikan landasan dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah dan 'Ilmiyyah. Sedangkan orang yang membedakan antara kedua hukum ini tidak memiliki dalil untuk membedakannya, bila dia menisbatkan pendapat ini kepada salah seorang imam (ulama mazhab yang empat, misalnya ) tentang adanya pembedaan antara keduanya, maka dia harus menguatkan statementnya itu dengan sanad (landasan) yang shahîh dari imam tersebut, kemudian juga menjelaskan landasan yang dijadikannya sebagai dalil.







DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis, Jakarta, Amzah, 2008
H. Zeid B. Smeer, Lc., M.A.,Ulumul Hadist,UIN-Malang Prees, 2008
http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=50





[1] http://www.alsofwah.or.id
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta, Amzah, 2008.
[3] Zeid B. Smeer,Ulumul Hadist,UIN-Malang Prees, 2008

ASAL – USUL DAN MOTIVASI LAHIRNYA TASAWWUF



1.Asal – usul Munculnya Ajaran Tasawwuf
     Secara etimologi, ada tiga kata yang menjadi kemungkinan timbulnya istilah tasawuf ( تصوف ), yaitu: shaff ( صف), shûff (), dan shuffah (صوف).[1]
a. Shaff (صف). Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan (shaffan) yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh. Shaffan sesungguhnya berarti secara berbaris-baris. Jadi, mengacu pada ayat di atas, tasawuf adalah menyusun barisan di jalan Allah SWT (fî sabîlillâh).
b. Shûf (صوف) adalah bulu domba. Pada masa pra-Islam, bulu domba sering digunakan sebagai pakaian oleh para ruhban  atau rabbi (pemimpin Yahudi yang asketis) sebagai simbol kesederhanaan. Shûf juga sering dijadikan pakaian oleh para petapa Nasrani. Jadi, tasawuf adalah hal yang identik dengan kesederhanaan.
c.  Shuffah (صفة) adalah tempat duduk kecil yang terbuat dari kayu atau batu. Para sahabat Nabi saw sering duduk di atas shuffah sehingga mereka disebut Ahlush-shuffa (أهل الصفة).[4] Oleh sebab itu, tasawuf diidentikkan dengan Ahlush-shuffah dan diyakini bahwa tasawuf berasal dari kebiasaan para sahabat Nabi saw.
Kesimpulannya, secara etimologi, tasawuf adalah barisan-barisan yang senantiasa berada di jalan Allah SWT dan hidup sederhana dengan mencontoh teladan para sahabat Nabi saw yang saleh.[1]


      Mari kita kembali kepada kata tasawwuf, istilah arab yang tepat untuk sufisme. Asal – usul tradisi ini muncul sejak umat manusia ada. Ketika manusia menyadari hubunganya dengan yang mutlak, maka dia mulai mencari hakikat.

   Sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, para pendahulu kaum sufi disebut sebagai hunafa’. Mereka juga telah disebut –sebut dalam berbabagai ayat al-qur’an. Di antaranya :

       “ padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah ALLAH dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus ( Qs.Al-bayyinah 98:5).

   Sifat Nabi Ibrahim AS lah yang didalam Al-Qur’an disebut sebagai seorang yang hanif, maka kita memiliki bukti bahwa pribadi – pribadi para hanif itu telah ada sebalum wahyu ALLAH.

   Khusus mengenai asal – usul tasawwuf, terdapat beberapa pandangan. Sebagian pandangan secara tegas menyatakan bahwa tasawwuf tidak memiliki dasar dalam islam. Sebagian yang lain mengaitkanya dengan peradaban Indo-Eropa.

   Pada permulaan Islam, risalah yang di turunkan kepada Muhammad SAW mengandung dua pesan. Pesan yang pertama ditujukan kepada manusia secara umum ( ammah ), dan yang kedua hanya diperuntukkan untuk orang – orang khusus ( khawwas ).

     Secara historis, tasawwuf  baru menjadi sebuah aliran yang sesungguhnya, lengkap dengan para syekh, tata-tertib dan tarekat-tarekat, pada masa islam, setelah diutusnya nabi muhammad SAW. Tasawwuf dinisbatkan kepada para sahabat pertamanya nabi. Sebagaimana para pengamat mengatakan : “pada mulanya, nama tasawwuf  belum ada namun hampir semua orang adalah para sufi, sedangakan sekarang nama itu ada namun sedikit sekali sufi”.

Hingga kini, dimasjid nabawi, madinah, didepan makam nabi terdapat sebuah tempat yang agak tinggi yang disebut ahl al-shuffah. Ditempat itulah para sahabat Nabi yang menjaga sunnah Nabi dan asma agung berfikir dan bertafakkur tentang mereka Al-Qur’an menyebutkan :

     “ Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru tuhan dipagi dan sore hari dengan mengharap keridhoan_Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka ( karena ) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaanya melampui batas “. ( Qs,Al-Kahfi,18:28).
 
    Beberapa teori lainya yang meragukan, bahkan penuh prasangka, menegaskan bahwasanya asal – usul tasawwuf terkait dengan kontak umat islam dengan anak benua india, dengan Agama budha atau hindu, bahkan dengan filsafat yunani, semua itu keliru, pada kenyataanya tasawwuf merupakan tradisi yang telah berakar lama, yang diciptakan kembali, ditanamkan oleh risalah Muhammad SAW, tasawwuf diaturkan melalui silsilah para syekh.[2]

    Pengaruh-pengaruh lain atas hidup kerohanian Islam juga dikatakan sebagian orang sebagai latar belakang yang mempengaruhi ilmu tasawuf, seperti :
a.      Pengaruh Hindu, seperti apa yang dikatakan oleh Al Bairuni tentang pokok persamaan ajaran karma dan jelmaan dengan mazhab orang shufi dengan istilah hulul.
b.    Pengaruh Persia, zuhud dalam tasawuf Islam amat menyerupai zuhud dan kependetaan dalam mazhab Manu. Qana’ah yaitu hidup sangat sederhana dan melarang makan daging binatang menyerupai pula ajaran mazhab Mazdak.
c.     Pengaruh Nasrani, pendapat-pendapat seperti ini dikuatkan dengan macam-macam alasan. Seperti yang diungkapkan Goldziher, ia mengatakan bahwa hadits-hadits Nabi yang memuji hidup miskin dan mencela kekayaan dan kemewahan adalah diambil dari sumbernya Nasrani. Sebab Nasrani yang amat menguatamakan itu. Noldke mengatakan bahwa pakaian shuf (bulu) itupun diambil dari Nasrani. Nicholson juga berpendapat bahwa tafakur berdiam diri dan berzikir pun dari pengaruh Nasrani.
d.     Pengaruh filsafat Yunani, alam pikiran Islam telah memakai filsafat Aristoteles untuk menguatkan kepercayaan kepada Zat Pencipta Sarwa Sekalian alam. Logika Aristoteles dipakai di samping idealisme Plato. Semboyan Socrates yang terkenal yang didapatinya tertulis di dinidng Ma’bad Delfi, “Kenallah Dirimu, telah disesuaikan oleh ahli tasawuf dengan hadits atau kata hikmat tasawuf yang terkenal pula yaitu: “Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh dia telah mengenal Tuhannya”.
    Alasan-alasan lain juga mereka katakan bahwa tokoh-tokoh sufi kebanyakan dari Persia yang asalnya beragama Majusi atau bangsa lain yang beragama Kristen. Namun argumen ini sangat lemah dan goyah, mengingat bahwa cikal bakal tasawuf lahir dari jazirah Arab dan dari bangsa arab itu sendiri. Dasar-dasar tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, cara hidup beliau yang kemudian diteladani  dan kemudian diteruskan oleh para sahabat.[3]

2.Motivasi Lahirnya Ajaran Tasawwuf
     Term tasawwuf dikenal secara luas dikawasan islam sejak penghujung abad dua hijriyah, sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelompok diserambi masjid madinah.dalam perjalanan kehidupan kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawwuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya.

    Kepesatan perkembangan tasawwuf sebagai satu kultur keislaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor, infus ini kemudian kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul tiga faktor tersebut, sebagai berikut :
a.       Dikarenakan corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh umat islam terutama para pembesar negeri dan para hartawan. Dari aspek ini dorongan yang paling deras adalah sebagai reaksi terhadap sikap hidup yang sekular dan glamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Protes tersamar itu mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bashri ( w.110 H ) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spritual islam, melalui doktrin al-Zuhd dan khouf- al-roja; Rabiah al-Adawiyah ( w.185 H ) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta Ma’ruf al-kharki (w 200 H ) dengan konsepnya al-syauq sebagai ajaranya. Nampaknya setidaknya pada wal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang introversionis, pemisah dari trend kehidupan, eksklusip dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tampa memperdulikan alam sekitar.
b.      Timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya.kekerasan pergulatan politik pada masa itu, menyebabkan orang – orang yang ingin mempertahankan kesalihan dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil tindakan menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran uzlah yang dipelopori oleh Surri al- saqathi (w 253 H ). Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan” satu kelompok umat yang sengaja mengambil sikap uzlah kolektif yang cenderung eksklusifdan kritis terhadap penguasa. Dalam pandangan ini, kecendrungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari kompensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika didunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spritual yang penuh dengan salju cinta.
c.       Nampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehilangan moralitasnya, menjadi wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakain kering dan menyesakkan ruhuddin yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam agama, para zuhhad tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memicu pergeseran asketisme kesalahan kepada tasawwuf. Doktrin al-zuhd misalnya yang tadi sebagai dorongan untuk meningkatkan ibadah semata – mata karena takut kepada siksa neraka bergeser kepada demi kecintaan dan semata – mata karena ALLAH agar selalu bisa berkomunikasi dengan-Nya.[4]

   Konsep tawakkal yang tadinya berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara diamental kemudian dihadapkan kepada pengingkaran kehidupan yang pro-fanistik disatu pihak dan konsep sentral tentang hubungan manusia dengan tuhan, yang kemudian populer dengan doktrin al-hubb. Doktrin al-hubb adalah tingkat akhir sebelum ma’rifat yang berarti mengenal ALLAH secara langsung melalui pandangan batin.

   Menurut sebagian sufi, ma’rifat ALLAH adalah tujuan akhir dan sekaligus merupakan tingkat kebahagian paripurna yang mungkin dicapai oleh manusia di dunia ini, kondisi demikian hanya dapat di capai sesudah mencintai ( AL-HUBB ) ALLAH dengan segenap expresinya. Berdasarkan kualitas – kualitas yang demikian maka gerakan ini bisa dikatakan sebagai gerakan gnostisisme ( ilmu laduni, al-ma’rifat ) atau barang kali dapat disejajarkan dengan manipulationistdalam filsafat. Kelompok ini kemudian mengklaim memiliki ilmu yang khusus dan tidak dapat diberikan kepada sembarang orang. Untuk memiliki kualitas ilmu ini harus melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkat- tingkat.

    Pada abad itu juga tampil Dzun-Nun-al-Mishri ( w 245 H ) dengan konsep lain mengenai konsep spritual menuju tuhan al-Maqomat yang secara pararel berjalan bersama teori al-hal yang bersifat psiko-gnostik sejak diterimanya dengan luas doktrin al_maqomat dan al-hal, perkembangan tasawwuf telah sampai kepada tingkat kejelasan perbedaan dengan kesalehan asketis, baik dalam tujuan maupun ajaran. Sementara itu, dalam abad tiga ini juga Abu Yazid al-Busthomi ( w 260 H ) melangkah lebih maju dengan doktrin al- ittihad melalui al-fana, yakni beralihnya sifat kemanusian seseorang kedalam sifat ke-illahian sehingga terjadi penyatuan manusia dengan tuhan.

    Kejayaan tasawwuf pada abad ketujuh dan sesudahnya dikalangan bangsa arab, dan segala hal yang disandarkan pada Rasulullah, baik secara hak maupun bathil, hal tersebut masih memerlukan penyempurnaan karena kejayaan tasawwuf pada abad ketujuh dan sebelumnya terjadi dikalangan bangsa arab dan non-arab. Hal ini merupakan hasil dari suatu perkembangan alami yang terjadi dalam sejarah perkembangan budaya. Dewasa ini, perkembangan dan pertumbuhan kelompok sufi telah memberikan suatu kelayakan kepada masyarakat untuk memimpin dan berijtihad sebagai konsekuensi logis dari respon balik terhadap perkembangan era sebelumnya.

    Sebagai contoh, pada abad ketujuh kita temukan para tokoh sufi, seperti Abul Hasan Asy-Syadzili, Ibnu Daqiq Al-‘Id, Majd Ad-Din Al-qusyairi, pada abad sebelumnya  ( Abad ke VI ) kita temukan para sufi, seperti Ahmad Rifai dan Abu Madyan. Pada abad kelima kita jumpai AL-Ghazali dan Abdul AL-Qadir Al-Jailani. Pada abad ketiga dan keempat kita temukan Junaid Al-Baghdadi dan Asy-Syibli. Sebelum mereka, kita temukan pula Zun Nun Al-Misri dan Abu Yazid AL- Busthami. Sebelumnya lagi kita temukan Hasan Al-Basri, Sufyan Ats-Tsauri, Malik Bin Dinar, Ibrahim Bin Adam, Fudail Bin Iyad, Syaqiq Al-Balkhi dan Hatim Al-Asham. Kita mengenal sejarah mereka, baik yang benar maupun bohong, dan pemikiran asli maupun yang diatas namakan mereka.

    Selain itu, perkembangan dan pengaruh lingkungan dari perang salib, tartar, mongol, dan kekacauan yang terjadi dipusat kekhalifahan, bagdhad, mendorong masyarakat untuk kembali kepada ALLAH. Dari kajian kritis tentang masa keemasan ini, terkait dengan perkembangan tasawwuf dan kajianya.[5]

1.kesimpulan
    Tasawuf  adalah ajaran yang bersumber dari agama Islam sendiri, dari Alquran al-Karim, al-Hadits, contoh kehidupan Rasulullah SAW dan kehidupan para sahabat beliau. Dalam perkembangannya, tasawuf berasal dari sebuah gerakan zuhud yang kemudian berkembang menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri, ada yang mengatakan tasawuf terpengaruh dari unsur Nasrani, Persia, India filsafat, dan lain sebagainya. Namun terlepas dari semua itu, pada kenyataannya tasawuf merupakan sebuah disiplin ilmu tersendiri yang maisng-masing zaman mempunyai corak dan karakteristiknya masing-masing.

Kepesatan perkembangan tasawwuf sebagai satu kultur keislaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor:
1.      Dikarenakan corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh umat islam terutama para pembesar negeri dan para hartawan.

2.      Timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya.kekerasan pergulatan politik pada masa itu.


3.      Nampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehilangan moralitasnya.





DAFTAR PUSTAKA


                Ø  Syekh Khaled Bentounes,Tasawwuf kalbu islam,(yogyakarta,pustaka marwa,2006).

Ø  Hamka, Tasawwuf perkembangan dan pemurnianya,( jakarta,PT. Pustaka panjimas,1994).

Ø  Rivay siregar,Tasawwuf dari sufisme klasik ke Neo sufisme,(jakarta,PT.RajaGrapindo Persada,2002).

Ø  Muhammad Zaki Ibrahim,Tasawwuf Hitam Putih,( solo,Tiga Serangkai,2006).

Ø  Wordpress.com/2010/24/asal usul dan pengertian akhlak tasawwuf.



[1] Wordpress.com/2010/24/asal usul dan pengertian akhlak tasawwuf.
[2] Syekh Khaled Bentounes,Tasawwuf kalbu islam,(yogyakarta,pustaka marwa,2006)hal,26-27.

[3] Hamka, Tasawwuf perkembangan dan pemurnianya,( jakarta,PT. Pustaka panjimas,1994),hal 43-50.

[4] Rivay siregar,Tasawwuf dari sufisme klasik ke Neo sufisme,(jakarta,PT.RajaGrapindo Persada,2002)hal 37-39.
[5] Muhammad Zaki Ibrahim,Tasawwuf Hitam Putih,( solo,Tiga Serangkai,2006),hal,11-12.