1.Asal – usul Munculnya Ajaran Tasawwuf
Secara
etimologi, ada tiga kata yang menjadi kemungkinan timbulnya istilah tasawuf ( تصوف ), yaitu: shaff ( صف), shûff (), dan shuffah (صوف).[1]
a. Shaff (صف).
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang
di jalan-Nya dalam barisan (shaffan) yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan
yang tersusun kokoh. Shaffan sesungguhnya berarti secara berbaris-baris. Jadi,
mengacu pada ayat di atas, tasawuf adalah menyusun barisan di jalan Allah SWT
(fî sabîlillâh).
b. Shûf (صوف)
adalah bulu domba. Pada masa pra-Islam, bulu domba sering digunakan sebagai
pakaian oleh para ruhban atau rabbi
(pemimpin Yahudi yang asketis) sebagai simbol kesederhanaan. Shûf juga sering
dijadikan pakaian oleh para petapa Nasrani. Jadi, tasawuf adalah hal yang
identik dengan kesederhanaan.
c. Shuffah (صفة)
adalah tempat duduk kecil yang terbuat dari kayu atau batu. Para sahabat Nabi
saw sering duduk di atas shuffah sehingga mereka disebut Ahlush-shuffa (أهل الصفة).[4] Oleh sebab itu, tasawuf diidentikkan
dengan Ahlush-shuffah dan diyakini bahwa tasawuf berasal dari kebiasaan para
sahabat Nabi saw.
Kesimpulannya, secara etimologi, tasawuf adalah
barisan-barisan yang senantiasa berada di jalan Allah SWT dan hidup sederhana
dengan mencontoh teladan para sahabat Nabi saw yang saleh.[1]
Mari
kita kembali kepada kata tasawwuf, istilah arab yang tepat untuk sufisme. Asal
– usul tradisi ini muncul sejak umat manusia ada. Ketika manusia menyadari
hubunganya dengan yang mutlak, maka dia mulai mencari hakikat.
Sebelum
diutusnya Nabi Muhammad SAW, para pendahulu kaum sufi disebut sebagai hunafa’.
Mereka juga telah disebut –sebut dalam berbabagai ayat al-qur’an. Di antaranya
:
“ padahal mereka tidak disuruh kecuali
menyembah ALLAH dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus,
dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian
itulah agama yang lurus ( Qs.Al-bayyinah 98:5).
Sifat Nabi
Ibrahim AS lah yang didalam Al-Qur’an disebut sebagai seorang yang hanif, maka
kita memiliki bukti bahwa pribadi – pribadi para hanif itu telah ada sebalum
wahyu ALLAH.
Khusus
mengenai asal – usul tasawwuf, terdapat beberapa pandangan. Sebagian pandangan
secara tegas menyatakan bahwa tasawwuf tidak memiliki dasar dalam islam.
Sebagian yang lain mengaitkanya dengan peradaban Indo-Eropa.
Pada
permulaan Islam, risalah yang di turunkan kepada Muhammad SAW mengandung dua
pesan. Pesan yang pertama ditujukan kepada manusia secara umum ( ammah ), dan
yang kedua hanya diperuntukkan untuk orang – orang khusus ( khawwas ).
Secara
historis, tasawwuf baru menjadi sebuah
aliran yang sesungguhnya, lengkap dengan para syekh, tata-tertib dan
tarekat-tarekat, pada masa islam, setelah diutusnya nabi muhammad SAW. Tasawwuf
dinisbatkan kepada para sahabat pertamanya nabi. Sebagaimana para pengamat
mengatakan : “pada mulanya, nama tasawwuf
belum ada namun hampir semua orang adalah para sufi, sedangakan sekarang
nama itu ada namun sedikit sekali sufi”.
Hingga kini, dimasjid nabawi, madinah, didepan
makam nabi terdapat sebuah tempat yang agak tinggi yang disebut ahl
al-shuffah. Ditempat itulah para sahabat Nabi yang menjaga sunnah Nabi dan
asma agung berfikir dan bertafakkur tentang mereka Al-Qur’an menyebutkan :
“ Dan
bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru tuhan dipagi dan sore hari
dengan mengharap keridhoan_Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka ( karena ) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan janganlah
kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami serta
menuruti hawa nafsunya dan keadaanya melampui batas “. ( Qs,Al-Kahfi,18:28).
Beberapa
teori lainya yang meragukan, bahkan penuh prasangka, menegaskan bahwasanya asal
– usul tasawwuf terkait dengan kontak umat islam dengan anak benua india,
dengan Agama budha atau hindu, bahkan dengan filsafat yunani, semua itu keliru,
pada kenyataanya tasawwuf merupakan tradisi yang telah berakar lama, yang diciptakan
kembali, ditanamkan oleh risalah Muhammad SAW, tasawwuf diaturkan melalui
silsilah para syekh.[2]
Pengaruh-pengaruh lain atas hidup kerohanian Islam juga dikatakan sebagian orang sebagai latar
belakang yang mempengaruhi ilmu tasawuf, seperti :
a. Pengaruh Hindu, seperti
apa yang dikatakan oleh Al Bairuni tentang pokok persamaan ajaran karma dan
jelmaan dengan mazhab orang shufi dengan istilah hulul.
b. Pengaruh Persia, zuhud dalam
tasawuf Islam amat menyerupai zuhud dan kependetaan dalam mazhab Manu. Qana’ah
yaitu hidup sangat sederhana dan melarang makan daging binatang menyerupai pula
ajaran mazhab Mazdak.
c. Pengaruh Nasrani, pendapat-pendapat seperti ini dikuatkan dengan macam-macam alasan.
Seperti yang diungkapkan Goldziher, ia mengatakan bahwa hadits-hadits Nabi yang
memuji hidup miskin dan mencela kekayaan dan kemewahan adalah diambil dari
sumbernya Nasrani. Sebab Nasrani yang amat menguatamakan itu. Noldke mengatakan
bahwa pakaian shuf (bulu) itupun diambil dari Nasrani. Nicholson juga
berpendapat bahwa tafakur berdiam diri dan berzikir pun dari pengaruh Nasrani.
d.
Pengaruh filsafat Yunani, alam pikiran Islam telah memakai filsafat Aristoteles
untuk menguatkan kepercayaan kepada Zat Pencipta Sarwa Sekalian alam. Logika
Aristoteles dipakai di samping idealisme Plato. Semboyan Socrates yang terkenal
yang didapatinya tertulis di dinidng Ma’bad Delfi, “Kenallah Dirimu, telah
disesuaikan oleh ahli tasawuf dengan hadits atau kata hikmat tasawuf yang
terkenal pula yaitu: “Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh dia telah mengenal
Tuhannya”.
Alasan-alasan lain juga mereka katakan bahwa tokoh-tokoh sufi kebanyakan
dari Persia yang asalnya beragama Majusi atau bangsa lain yang beragama
Kristen. Namun argumen ini sangat lemah dan goyah, mengingat bahwa cikal bakal
tasawuf lahir dari jazirah Arab dan dari bangsa arab itu sendiri. Dasar-dasar
tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat diketahui dari
kehidupan Nabi Muhammad SAW, cara hidup beliau yang kemudian diteladani dan kemudian diteruskan oleh para sahabat.[3]
2.Motivasi Lahirnya Ajaran Tasawwuf
Term tasawwuf dikenal secara luas dikawasan islam
sejak penghujung abad dua hijriyah, sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan
asketis atau para zahid yang mengelompok diserambi masjid madinah.dalam
perjalanan kehidupan kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan
kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan
yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawwuf yang kemudian berkembang
dengan pesatnya.
Kepesatan
perkembangan tasawwuf sebagai satu kultur keislaman, nampaknya memperoleh infus
atau motivasi dari tiga faktor, infus ini kemudian kemudian memberikan gambaran
tentang tipe gerakan yang muncul tiga faktor tersebut, sebagai berikut :
a.
Dikarenakan
corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh umat
islam terutama para pembesar negeri dan para hartawan. Dari aspek ini dorongan
yang paling deras adalah sebagai reaksi terhadap sikap hidup yang sekular dan
glamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Protes tersamar itu
mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spritual dengan
motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk
Hasan al-Bashri ( w.110 H ) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan
spritual islam, melalui doktrin al-Zuhd dan khouf- al-roja; Rabiah al-Adawiyah
( w.185 H ) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta Ma’ruf al-kharki (w 200 H
) dengan konsepnya al-syauq sebagai ajaranya. Nampaknya setidaknya pada wal
munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang introversionis, pemisah
dari trend kehidupan, eksklusip dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri
tampa memperdulikan alam sekitar.
b.
Timbulnya
sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij dan
polarisasi politik yang ditimbulkannya.kekerasan pergulatan politik pada masa
itu, menyebabkan orang – orang yang ingin mempertahankan kesalihan dan
ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil tindakan menjauhi kehidupan masyarakat ramai
untuk menyepi sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam
pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran uzlah yang
dipelopori oleh Surri al- saqathi (w 253 H ). Apabila diukur dari kriteria
sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan
“sempalan” satu kelompok umat yang sengaja mengambil sikap uzlah kolektif yang
cenderung eksklusifdan kritis terhadap penguasa. Dalam pandangan ini,
kecendrungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian,
atau mencari kompensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika
didunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka
bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan,
dunia spritual yang penuh dengan salju cinta.
c.
Nampaknya
adalah karena corak kodifikasi hukum islam dan perumusan ilmu kalam yang
rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehilangan
moralitasnya, menjadi wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa.
Formalitas faham keagamaan dirasakan semakain kering dan menyesakkan ruhuddin
yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal
antara hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa
itu, karena dominannya posisi moral dalam agama, para zuhhad tergugah untuk
mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memicu pergeseran asketisme
kesalahan kepada tasawwuf. Doktrin al-zuhd misalnya yang tadi sebagai dorongan
untuk meningkatkan ibadah semata – mata karena takut kepada siksa neraka
bergeser kepada demi kecintaan dan semata – mata karena ALLAH agar selalu bisa
berkomunikasi dengan-Nya.[4]
Konsep
tawakkal yang tadinya berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara
diamental kemudian dihadapkan kepada pengingkaran kehidupan yang pro-fanistik
disatu pihak dan konsep sentral tentang hubungan manusia dengan tuhan, yang
kemudian populer dengan doktrin al-hubb. Doktrin al-hubb adalah tingkat akhir
sebelum ma’rifat yang berarti mengenal ALLAH secara langsung melalui pandangan
batin.
Menurut
sebagian sufi, ma’rifat ALLAH adalah tujuan akhir dan sekaligus merupakan
tingkat kebahagian paripurna yang mungkin dicapai oleh manusia di dunia ini,
kondisi demikian hanya dapat di capai sesudah mencintai ( AL-HUBB ) ALLAH
dengan segenap expresinya. Berdasarkan kualitas – kualitas yang demikian maka
gerakan ini bisa dikatakan sebagai gerakan gnostisisme ( ilmu laduni,
al-ma’rifat ) atau barang kali dapat disejajarkan dengan manipulationistdalam
filsafat. Kelompok ini kemudian mengklaim memiliki ilmu yang khusus dan tidak
dapat diberikan kepada sembarang orang. Untuk memiliki kualitas ilmu ini harus
melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkat- tingkat.
Pada abad
itu juga tampil Dzun-Nun-al-Mishri ( w 245 H ) dengan konsep lain mengenai
konsep spritual menuju tuhan al-Maqomat yang secara pararel berjalan bersama
teori al-hal yang bersifat psiko-gnostik sejak diterimanya dengan luas doktrin
al_maqomat dan al-hal, perkembangan tasawwuf telah sampai kepada tingkat
kejelasan perbedaan dengan kesalehan asketis, baik dalam tujuan maupun ajaran.
Sementara itu, dalam abad tiga ini juga Abu Yazid al-Busthomi ( w 260 H )
melangkah lebih maju dengan doktrin al- ittihad melalui al-fana, yakni
beralihnya sifat kemanusian seseorang kedalam sifat ke-illahian sehingga
terjadi penyatuan manusia dengan tuhan.
Kejayaan
tasawwuf pada abad ketujuh dan sesudahnya dikalangan bangsa arab, dan segala
hal yang disandarkan pada Rasulullah, baik secara hak maupun bathil, hal
tersebut masih memerlukan penyempurnaan karena kejayaan tasawwuf pada abad
ketujuh dan sebelumnya terjadi dikalangan bangsa arab dan non-arab. Hal ini
merupakan hasil dari suatu perkembangan alami yang terjadi dalam sejarah
perkembangan budaya. Dewasa ini, perkembangan dan pertumbuhan kelompok sufi
telah memberikan suatu kelayakan kepada masyarakat untuk memimpin dan
berijtihad sebagai konsekuensi logis dari respon balik terhadap perkembangan
era sebelumnya.
Sebagai
contoh, pada abad ketujuh kita temukan para tokoh sufi, seperti Abul Hasan
Asy-Syadzili, Ibnu Daqiq Al-‘Id, Majd Ad-Din Al-qusyairi, pada abad
sebelumnya ( Abad ke VI ) kita temukan
para sufi, seperti Ahmad Rifai dan Abu Madyan. Pada abad kelima kita jumpai
AL-Ghazali dan Abdul AL-Qadir Al-Jailani. Pada abad ketiga dan keempat kita
temukan Junaid Al-Baghdadi dan Asy-Syibli. Sebelum mereka, kita temukan pula
Zun Nun Al-Misri dan Abu Yazid AL- Busthami. Sebelumnya lagi kita temukan Hasan
Al-Basri, Sufyan Ats-Tsauri, Malik Bin Dinar, Ibrahim Bin Adam, Fudail Bin
Iyad, Syaqiq Al-Balkhi dan Hatim Al-Asham. Kita mengenal sejarah mereka, baik
yang benar maupun bohong, dan pemikiran asli maupun yang diatas namakan mereka.
Selain
itu, perkembangan dan pengaruh lingkungan dari perang salib, tartar, mongol, dan
kekacauan yang terjadi dipusat kekhalifahan, bagdhad, mendorong masyarakat untuk
kembali kepada ALLAH. Dari kajian kritis tentang masa keemasan ini, terkait
dengan perkembangan tasawwuf dan kajianya.[5]
1.kesimpulan
Tasawuf adalah ajaran yang bersumber
dari agama Islam sendiri, dari Alquran al-Karim, al-Hadits, contoh kehidupan
Rasulullah SAW dan kehidupan para sahabat beliau. Dalam perkembangannya,
tasawuf berasal dari sebuah gerakan zuhud yang kemudian berkembang menjadi
suatu disiplin ilmu tersendiri, ada yang mengatakan tasawuf terpengaruh dari
unsur Nasrani, Persia, India filsafat, dan lain sebagainya. Namun terlepas dari
semua itu, pada kenyataannya tasawuf merupakan sebuah disiplin ilmu tersendiri
yang maisng-masing zaman mempunyai corak dan karakteristiknya masing-masing.
Kepesatan
perkembangan tasawwuf sebagai satu kultur keislaman, nampaknya memperoleh infus
atau motivasi dari tiga faktor:
1. Dikarenakan corak kehidupan yang profan dan hidup
kepelesiran yang diperagakan oleh umat islam terutama para pembesar negeri dan
para hartawan.
2. Timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal
kepada radikalisme kaum khawarij dan polarisasi politik yang
ditimbulkannya.kekerasan pergulatan politik pada masa itu.
3. Nampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum
islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal
yang menyebabkan kehilangan moralitasnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Syekh Khaled
Bentounes,Tasawwuf kalbu islam,(yogyakarta,pustaka marwa,2006).
Ø Hamka, Tasawwuf perkembangan dan pemurnianya,(
jakarta,PT. Pustaka panjimas,1994).
Ø Rivay siregar,Tasawwuf dari sufisme klasik ke
Neo sufisme,(jakarta,PT.RajaGrapindo Persada,2002).
Ø Muhammad Zaki Ibrahim,Tasawwuf Hitam Putih,(
solo,Tiga Serangkai,2006).
Ø Wordpress.com/2010/24/asal usul dan pengertian
akhlak tasawwuf.
[4] Rivay siregar,Tasawwuf
dari sufisme klasik ke Neo sufisme,(jakarta,PT.RajaGrapindo Persada,2002)hal
37-39.
0 comments:
Post a Comment