Sponsor

"Ilmu Tanpa Amalan Ibarat Pohon Tanpa Buah" Ilmu Yang Berfaidah Adalah Ilmu Yang Digunakan Atau Dimanfaatkan, Dan Pekerjaan Yang Baik Adalah Pekerjaan Yang Dikerjakan Dengan Baik, Maka Ilmu Harus Dimanfaatkan Dan Harus Dipakai Untuk Memudahkan Dan Menyempurnakan Sesuatu Pekerjaan Agar Baik Hasilnya, Dan Mendatangkan Manfaat Bagi Kita Dan Orang-Orang Disekitar KIta.

Saturday, May 3, 2014

BERHUJJAH DENGAN HADIST AHAD


1. Pengertian Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits ‘Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama’ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn ditanya tentang orang yang menganggap hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam masalah ‘aqidah menjawab:
“Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah ‘aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah ‘aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula.
Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu ‘anhu :
“Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat”
Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya.
Bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengirimkan individu-individu (orang per-orang) guna mengajarkan permasalahan ‘aqidah yang prinsipil (Ushûl al-’Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman. Mu’adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima.
Bila kita mengatakan bahwa masalah ‘aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-’Amaliyyah (hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-’Amaliyyah selalu disertai oleh suatu ‘aqidah bahwa Allah Ta’ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-’Amaliyyah tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukum-hukum syara’ yang tidak berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam ini harus dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak ada bedanya.[1]

2. Macam - macam Hadis Ahad
     Pembagian Hadis ahad ada tiga macam, yaitu hadis masyur, aziz, dan gharib.
A.    Hadis Masyhur
Dalam bahasa kata Masyhur diartikan = tenar, terkenal, dan menampakkan. Dalam istilah hadis masyur terbagi menjadi dua macam adalah :
1.      Masyhur Isthilahi :
Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap tingkatan  (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir.
Sebagian ulama berpendapat hadis masyur sinomim dengan hadis mustafidh (dalam bahasa diartikan penuh dan tersabar) dan sebagian ulama alain berpendapat bahwa musthafidh lebih khusus, akarena dalam musthafidh disyaratkan dua ujung sanadnya harus sama jumlahnya yakni 3 orang atau lebih. Menurut pendapat kedua ini hadis mustafidh kebih khusus daripada masyhur, karena dipersyaratkan jumlah 3 orang periwayat dari awal sampai akhir sanad.


2.      Masyhur Ghayr Isthilahi
Hadis Masyhur Ghayr Isthilahi berbeda dengan Masyhur Isthilahi di atas. Hadis Masyhur menurut istilah muhadditsin (disebut masyhur isthilahi) sebagaimana di atas, sedang masyhur gayr isthilahi (bukan istilah muhadditsin) adalah :
Hadis yang popular pada ungkapan lisan (para ulama) tanpa ada persyaratan yang definitive.
Hadis Masyhur Ghayr isthilahi adalah hadis yang popular atau terkenal di kalangan golongan atau kelompok orang tertentu, sekalipun jumlah periwayat dan sanad tidak mencapai 3 orang atau lebih. Popularitas hadis masyhur disini disini tidak dilihat dari jumlah para perawi sebagaimana masyhur isthilahi di atas, tetapi tekanannya lebih kepada popularitas hadis itu sendiri ini di kalangan kelompok orang atau ulama dalam bidang ilmu tertentu. Mungkin hadis masyhur ghayr isthilahi hanya memiliki satu sanad saja atau lebih dan dua tidak bersanad, mungkin ahadis itu mutawatir atau ahad, berkualitas shahih, hasan, dha’if, dan atau mawdu’ yang penting popular dikalangan para ulama. Misalnya hadis tertentu popular (masyhur) dikalangan ulam tertentu tidak popular pada ulama lain. Hadis tertentu popular dikalangan ulama hadis saja, dan seterusnya. Misalnya hadis yang popular (masyhur) dikalangan ulam fiqh saja:
 Hal yang paling di murkakan Allah adalah talak (HR. Al-Hakim)
Contoh hadis masyhur dikalangan ulama ushul fiqh:
Terangkat daripada umatku kekhilafan, kelupaan, dan sesuatu yang dipaksakan. (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Contoh Hadis Masyhur dikalangan Ulama Hadis :
Hadis Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW berdo’a qunut satu bulan setelah ruku’ mendoakan pada qabilah riil dan Dzakwan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hukum Hadis Masyhur baik Istilahi atau Ghayr istilahi tidak seluruhnya dinyatakan shahih, akan tetapi tergantung pada hasil penelitian atau pemeriksaan para ulama. Sebagian hadis masyhur ada yang shahih, sebagian hasan, dan dha’if, bahkan ada yang mawdhu’. Namun, memang diakui bahwa keshahihannya hadis masyhur istilahi lebih kuat daripada keshahihan hadis aziz dan gharib yang hanya diriwayatkan satu atau dua orang perawi saja.

3.      Kitab-kitab hadis mashyur
Kitab-kitab yang memuat hadis masyhur ghayr istilahi (‘ala al-Alsinah) antaranya seabagai berikut :
   a. Al-Maqashid Al-Hasanah fima Usytuhira ‘ala Al-Alsinah, karya  As-Sakhawi,
   b. Kasyfu Al-Khafa’ wa Muzil Al-Ilbas fima Usyituriha min Al-Hadits ‘ala Alsinah An-Nas, karya Al-Ajaluni.
   c. Taamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fima Yadur ‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadits, karya Ibnu D-Daiba Asy-Syaibani.

B.     Hadis Aziz
Dari segi bahasa kata aziz sifat musyabbahah berasal dari kata ‘azza ya’izzun yang berarti sedikit dan langka. Atau dari kata ‘azza ya’azzun yang berarti kuat.
Jadi hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada seluruh tingkatan (thabaqat) sanad atau walaupun dalam satu tingkatan sanad saja. Misalnya dikalangan sahabat hanya terdapaat dua orang yang meriwayatkannya, atau hanya dikalangan tabi’in saja yang terdapat dua orang perawi sementara dikalangan sahabat hanya terdapat satu orang saja. Jadi pada salah satu tingkatan sanad hadis tersebut didapatkan tidak kurang dari dua orang perawi atau  satu tingkatan sanad yang terdiri dari dua orang.

  1. Hadis Gharib
Kata gharib dalam bahasa juga sifat musyabbahah (serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul) yang berarti sendirian (al-munfarid) . nama lain dari hadis gharib adalah fard. Farad dalam bahasa adalah tunggal dan satu. Antara hadis gharib dan fard yaitu satu mempunyai makna yang sama yaitu hanya satu perawi dalam satu tingkatan (thabaqat) sanadatau pada sebagian tingkatan sanad walaupun dalam hal satu tingkatan saja sedangkan pada tingkatan yang lain lebih dari satu orang. Misalnya satu hadis ditrima ditingkat ditingkatan sahabat hanya oleh seorang sahabat saja, sementara dikalangan tingkatan selain sahabat terdapat dua orang perawi atau lebih yang menerima hadis tersebut. Hadis yang seperti ini disebut hadis gharib dikalangan sahabat sekalipun tidak gharib ditingkatan tabi’in atau tabi’ tabi’in.
Macam – macam hadis gharib ada dua macam yaitu sebagai berikut :
a. Gharib Mutlak, yaitu :
Hadis yang gharabah-nya (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang sahabat.
Ujung sanad disebut pokok atau asal sanad karena sahabat yang menjadi referensi utama dalam periwayatannya hadis sekalipun banyak jalan dan tingkatan dalam sanad.
b. Gharib Nisbi (relatif), yaitu :
Hadis yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) ditengah sanad.
Hadis tersebut dikalangan tabi’in hanya Malik yang meriwayatkannya dari az-Zuhri. Boleh jadi pada awal sanad lebih dari satu orang, namun ditengah – tengahnya terjadi gharabah. Artinya hanya satu orang saja yang meriwayatkannya, kata nisbi memberikan makna bahwa gharabah terjadi secara relatif atau dinisbatkan pada suatu tertentu tidak secara mutlak.[2]

3. Kehujjahan Hadist Ahad
     Hadist ahad dengan berbagai pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan atau dho’if, bergantung pada syarat diterimannya hadist (syurut al-qabul). Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadist tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimannya hadist.
     Para ulama banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadist ahad. Diantara dalil-dalil yang mereka gunakan adalah:
  1. Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah saw. Tatkala menyebarkan islam kepada para pemimpin negri atau para raja, beliau menunjuk atau mengutus satu atau dua orang sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar menemui dua belas pemimpin saat itu untuk menganut islam. Kasus ini membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa oleh satu atau dua orang sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya rasulullah menilai jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut. Demikian kata imam syafi’i.
  2. Dalam menyebarkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah saw, mengutus satu orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang semula mengarah kebaitul maqdis dipalestina kemudian dipindah kearah kiblat (ka’bah) di makkah. Info pengalihan ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama nabi saw kemudian datang kesalah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan sholat subuh kemudian memberitahukan bahwa kiblat telah diubah arah. Mendengar informasi itu spontan mereka berputar arah untuk menghadap ke ka’bah padahal mereka tidak mendengar sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam syafi’i mengatakan seandainya khabar satu orang yang dikenal jujur tidak dapat diterima niscaya mereka tidak akan mengubris informasi pemindahan arah tersebut.
  3. Termasuk dalil yang digunakan imam syafi’i untuk membuktikan hadist ahad adalah hadist yang berbunyi :

نضر الله أمر أسمع منا شينا فبلغه كما سمع فرب مبلغ أوعى من سامع
“ semoga ALLAH membaguskan wajah orang-orang yang mendengar dari kami sebuah hadist lalu ia menyampaikannya sebagai mana ia dengar, bisa jadi orang yang menyampaikan lebih memahami dari orang yang mendengar”

     Anjuran Rasulullah saw untuk menghafal lalu menyampaikannya pada orang lain menunjukkan bahwa khabar atau hadis yang dibawa orang tersebut dapat diterima dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dalil. Disisi lain hadist yang disampaikan itu bisa berupa hukum –hukum halal haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.[3]


  1.  Kesimpulan
Hadits Ahad adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits ‘Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama’ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
Hadist ahad terbagi menjadi tiga yaitu : hadis masyhur, hadist Aziz, hadist gharib. Hadist masyhur diartikan  sebagai hadist popular  atau terkenal namun perawi dan sanad dalam tingkatannya  hanya mencapai 3 orang, Hadist aziz yaitu hadist langkah atau sedikit menurut istilah, yang  mana jumlah parawi dalam setiap tingkatan sanad tidak lebih dari dua orang. Sedangkan hadist gharib adalah hadist sendiri karna jumlah perawi dalam setiap tingkatan sanad hanya satu orang saja.
 Bahwa bila ada qarâ-in yang mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid, maka ia dapat menginformasikan ilmu pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) dan dapat dijadikan landasan dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah dan 'Ilmiyyah. Sedangkan orang yang membedakan antara kedua hukum ini tidak memiliki dalil untuk membedakannya, bila dia menisbatkan pendapat ini kepada salah seorang imam (ulama mazhab yang empat, misalnya ) tentang adanya pembedaan antara keduanya, maka dia harus menguatkan statementnya itu dengan sanad (landasan) yang shahîh dari imam tersebut, kemudian juga menjelaskan landasan yang dijadikannya sebagai dalil.







DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis, Jakarta, Amzah, 2008
H. Zeid B. Smeer, Lc., M.A.,Ulumul Hadist,UIN-Malang Prees, 2008
http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=50





[1] http://www.alsofwah.or.id
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta, Amzah, 2008.
[3] Zeid B. Smeer,Ulumul Hadist,UIN-Malang Prees, 2008

0 comments:

Post a Comment