1. Pengertian Hadits
Ahad
Hadits
Ahad adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang,
hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang
diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits
gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan
Hadits ‘Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama’ah (banyak
orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi
Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
Syaikh
Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn ditanya tentang orang yang menganggap
hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam masalah ‘aqidah
menjawab:
“Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah ‘aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah ‘aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula. Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu ‘anhu :
“Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat”
Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya.
“Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah ‘aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah ‘aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula. Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu ‘anhu :
“Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat”
Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya.
Bahwa Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengirimkan individu-individu (orang per-orang)
guna mengajarkan permasalahan ‘aqidah yang prinsipil (Ushûl al-’Aqîdah), yakni
dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad Rasûlullâh) sedangkan
pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah yang tidak dapat
ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman.
Mu’adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak
oleh penduduk Yaman dan harus diterima.
Bila kita
mengatakan bahwa masalah ‘aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd,
maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-’Amaliyyah (hukum-hukum yang
terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar
Ahâd sebab al-Ahkâm al-’Amaliyyah selalu disertai oleh suatu ‘aqidah bahwa
Allah Ta’ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila pendapat semacam
ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-’Amaliyyah tidak dapat juga dilandaskan
kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukum-hukum syara’ yang tidak
berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam ini harus dilandaskan kepada
khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak ada bedanya.[1]
2.
Macam -
macam Hadis Ahad
Pembagian Hadis ahad ada tiga macam, yaitu hadis masyur, aziz, dan gharib.
A.
Hadis Masyhur
Dalam bahasa kata Masyhur
diartikan = tenar, terkenal, dan menampakkan. Dalam istilah hadis masyur
terbagi menjadi dua macam adalah :
1.
Masyhur Isthilahi :
Hadis yang
diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad
tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir.
Sebagian ulama
berpendapat hadis masyur sinomim dengan hadis mustafidh (dalam bahasa diartikan
penuh dan tersabar) dan sebagian ulama alain berpendapat bahwa musthafidh lebih
khusus, akarena dalam musthafidh disyaratkan dua ujung sanadnya harus sama jumlahnya
yakni 3 orang atau lebih. Menurut pendapat kedua ini hadis mustafidh kebih
khusus daripada masyhur, karena dipersyaratkan jumlah 3 orang periwayat dari awal sampai
akhir sanad.
2.
Masyhur Ghayr Isthilahi
Hadis Masyhur
Ghayr Isthilahi berbeda dengan Masyhur Isthilahi di atas. Hadis Masyhur menurut
istilah muhadditsin (disebut masyhur isthilahi) sebagaimana di atas, sedang
masyhur gayr isthilahi (bukan istilah muhadditsin) adalah :
Hadis
yang popular pada ungkapan lisan (para ulama) tanpa ada persyaratan yang
definitive.
Hadis Masyhur Ghayr isthilahi adalah hadis yang popular atau terkenal
di kalangan golongan atau kelompok orang tertentu, sekalipun jumlah periwayat
dan sanad tidak mencapai 3 orang atau lebih. Popularitas hadis masyhur disini
disini tidak dilihat dari jumlah para perawi sebagaimana masyhur isthilahi di
atas, tetapi tekanannya lebih kepada popularitas hadis itu sendiri ini di
kalangan kelompok orang atau ulama dalam bidang ilmu tertentu. Mungkin hadis
masyhur ghayr isthilahi hanya memiliki satu sanad saja atau lebih dan dua tidak
bersanad, mungkin ahadis itu mutawatir atau ahad, berkualitas shahih, hasan,
dha’if, dan atau mawdu’ yang penting popular dikalangan para ulama. Misalnya
hadis tertentu popular (masyhur) dikalangan ulam tertentu tidak popular pada
ulama lain. Hadis tertentu popular dikalangan ulama hadis saja, dan seterusnya.
Misalnya hadis yang popular (masyhur) dikalangan ulam fiqh saja:
Hal yang paling di murkakan Allah adalah talak (HR. Al-Hakim)
Contoh hadis masyhur dikalangan ulama ushul fiqh:
Terangkat daripada umatku kekhilafan, kelupaan, dan sesuatu yang
dipaksakan. (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Contoh Hadis Masyhur dikalangan Ulama Hadis :
Hadis Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW berdo’a qunut satu bulan
setelah ruku’ mendoakan pada qabilah riil dan Dzakwan. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Hukum Hadis
Masyhur baik Istilahi atau Ghayr istilahi tidak seluruhnya dinyatakan shahih,
akan tetapi tergantung pada hasil penelitian atau pemeriksaan para ulama.
Sebagian hadis masyhur ada yang shahih, sebagian hasan, dan dha’if, bahkan ada
yang mawdhu’. Namun, memang diakui bahwa keshahihannya hadis masyhur istilahi
lebih kuat daripada keshahihan hadis aziz dan gharib yang hanya diriwayatkan
satu atau dua orang perawi saja.
3.
Kitab-kitab hadis mashyur
Kitab-kitab yang memuat
hadis masyhur ghayr istilahi (‘ala al-Alsinah) antaranya seabagai berikut :
a. Al-Maqashid
Al-Hasanah fima Usytuhira ‘ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi,
b. Kasyfu Al-Khafa’
wa Muzil Al-Ilbas fima Usyituriha min Al-Hadits ‘ala Alsinah An-Nas, karya
Al-Ajaluni.
c. Taamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fima Yadur ‘ala
Alsinah An-Nas min Al-Hadits, karya Ibnu D-Daiba Asy-Syaibani.
B.
Hadis Aziz
Dari segi bahasa
kata aziz sifat musyabbahah berasal dari kata ‘azza ya’izzun yang berarti
sedikit dan langka. Atau dari kata ‘azza ya’azzun yang berarti kuat.
Jadi hadis aziz
adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada seluruh tingkatan
(thabaqat) sanad atau walaupun dalam satu tingkatan sanad saja. Misalnya
dikalangan sahabat hanya terdapaat dua orang yang meriwayatkannya, atau hanya
dikalangan tabi’in saja yang terdapat dua orang perawi sementara dikalangan
sahabat hanya terdapat satu orang saja. Jadi pada salah satu tingkatan sanad
hadis tersebut didapatkan tidak kurang dari dua orang perawi atau satu tingkatan sanad yang terdiri dari dua
orang.
- Hadis Gharib
Kata gharib dalam
bahasa juga sifat musyabbahah (serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul) yang
berarti sendirian (al-munfarid) . nama lain dari hadis gharib adalah fard.
Farad dalam bahasa adalah tunggal dan satu. Antara hadis gharib dan fard yaitu
satu mempunyai makna yang sama yaitu hanya satu perawi dalam satu tingkatan (thabaqat) sanadatau pada sebagian tingkatan sanad walaupun dalam hal satu
tingkatan saja sedangkan pada tingkatan yang lain lebih dari satu orang.
Misalnya satu hadis ditrima ditingkat ditingkatan sahabat hanya oleh seorang
sahabat saja, sementara dikalangan tingkatan selain sahabat terdapat dua orang
perawi atau lebih yang menerima hadis tersebut. Hadis yang seperti ini disebut
hadis gharib dikalangan sahabat sekalipun tidak gharib ditingkatan tabi’in atau
tabi’ tabi’in.
Macam – macam hadis gharib ada
dua macam yaitu sebagai berikut :
a. Gharib Mutlak,
yaitu :
Hadis yang gharabah-nya
(perawi satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad
yaitu seorang sahabat.
Ujung sanad
disebut pokok atau asal sanad karena sahabat yang menjadi referensi utama dalam
periwayatannya hadis sekalipun banyak jalan dan tingkatan dalam sanad.
b. Gharib Nisbi
(relatif), yaitu :
Hadis yang terjadi gharabah
(perawinya satu orang) ditengah sanad.
Hadis tersebut
dikalangan tabi’in hanya Malik yang meriwayatkannya dari az-Zuhri. Boleh jadi
pada awal sanad lebih dari satu orang, namun ditengah – tengahnya terjadi
gharabah. Artinya hanya satu orang saja yang meriwayatkannya, kata nisbi
memberikan makna bahwa gharabah terjadi secara relatif atau dinisbatkan pada
suatu tertentu tidak secara mutlak.[2]
3. Kehujjahan Hadist Ahad
Hadist ahad dengan berbagai pembagiannya
terkadang dapat dihukumi shahih, hasan atau dho’if, bergantung pada syarat
diterimannya hadist (syurut al-qabul). Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur
ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadist
tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimannya
hadist.
Para ulama banyak memberikan bukti tentang
kehujjahan hadist ahad. Diantara dalil-dalil yang mereka gunakan adalah:
- Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah saw. Tatkala menyebarkan islam kepada para pemimpin negri atau para raja, beliau menunjuk atau mengutus satu atau dua orang sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar menemui dua belas pemimpin saat itu untuk menganut islam. Kasus ini membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa oleh satu atau dua orang sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya rasulullah menilai jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut. Demikian kata imam syafi’i.
- Dalam menyebarkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah saw, mengutus satu orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang semula mengarah kebaitul maqdis dipalestina kemudian dipindah kearah kiblat (ka’bah) di makkah. Info pengalihan ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama nabi saw kemudian datang kesalah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan sholat subuh kemudian memberitahukan bahwa kiblat telah diubah arah. Mendengar informasi itu spontan mereka berputar arah untuk menghadap ke ka’bah padahal mereka tidak mendengar sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam syafi’i mengatakan seandainya khabar satu orang yang dikenal jujur tidak dapat diterima niscaya mereka tidak akan mengubris informasi pemindahan arah tersebut.
- Termasuk dalil yang digunakan imam syafi’i untuk membuktikan hadist ahad adalah hadist yang berbunyi :
نضر
الله أمر أسمع منا شينا فبلغه كما سمع فرب مبلغ أوعى من سامع
“ semoga ALLAH membaguskan wajah orang-orang yang
mendengar dari kami sebuah hadist lalu ia menyampaikannya sebagai mana ia
dengar, bisa jadi orang yang menyampaikan lebih memahami dari orang yang
mendengar”
Anjuran
Rasulullah saw untuk menghafal lalu menyampaikannya pada orang lain menunjukkan
bahwa khabar atau hadis yang dibawa orang tersebut dapat diterima dan sekaligus
dapat dijadikan sebagai dalil. Disisi lain hadist yang disampaikan itu bisa
berupa hukum –hukum halal haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah.
Dengan demikian hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai
masalah selama memenuhi kriteria shahih.[3]
- Kesimpulan
Hadits Ahad adalah hadits
yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai
mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang
pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh
dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits ‘Azîz. Sedangkan Hadits
Ahâd yang diriwayatkan oleh jama’ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat
mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai
pada syarat-syarat mutawatir.
Hadist ahad terbagi menjadi tiga yaitu : hadis masyhur, hadist Aziz,
hadist gharib. Hadist masyhur diartikan
sebagai hadist popular atau
terkenal namun perawi dan sanad dalam tingkatannya hanya mencapai 3 orang, Hadist aziz yaitu
hadist langkah atau sedikit menurut istilah, yang mana jumlah parawi dalam setiap tingkatan
sanad tidak lebih dari dua orang. Sedangkan hadist gharib adalah hadist sendiri
karna jumlah perawi dalam setiap tingkatan sanad hanya satu orang saja.
Bahwa bila ada qarâ-in yang
mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid, maka ia dapat menginformasikan
ilmu pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) dan dapat dijadikan landasan
dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah dan 'Ilmiyyah. Sedangkan orang yang membedakan
antara kedua hukum ini tidak memiliki dalil untuk membedakannya, bila dia
menisbatkan pendapat ini kepada salah seorang imam (ulama mazhab yang empat,
misalnya ) tentang adanya pembedaan antara keduanya, maka dia harus menguatkan
statementnya itu dengan sanad (landasan) yang shahîh dari imam tersebut,
kemudian juga menjelaskan landasan yang dijadikannya sebagai dalil.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Abdul
Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis,
Jakarta, Amzah, 2008
H. Zeid
B. Smeer, Lc., M.A.,Ulumul Hadist,UIN-Malang Prees, 2008
http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=50
0 comments:
Post a Comment